TUGAS 3
SOSIAL DAN BUDAYA FLORES
A.Pengenalan
Wilayah Kota Flores
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores
termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali
dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk daerah
yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang
rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di
bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu
mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan
dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Budaya Flores yang beraneka ragam juga
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu
daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores
yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang
unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila
potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan
meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran, pendalaman,
pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores harus mulai
dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat
B.Bahasa
Suku
flores di kenal dengan budaya bahasa yang sangat multi bahasanya, suku flores
mempunyai beragam bahasa komunikasi sehari hari antar masyarakat yaitu salah
satunya bahasa Werana, bahasa Rembong, bahasa Rajong, dan bahasa Manggarai
Kuku.
C. SISTEM
KEKERABATAN
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen
merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis)
dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan
darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada
Masyarakat Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal)
di mana klennya disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena,
Kleden, De- Rosari, Paeira.
Kelompok
kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif
sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di
ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada
suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali
Sejumlah kilo biasanya merasakan diri
terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang
kira-kira lima sampai enam generasi ke atas. Suatu klen kecil atau minimal
lineage memiliki beberapa nama lain, diManggarai disebut panga dan
di Ngada disebut ilibhou.
Warga suatu
panga atau ilibou tidak selau terikat oleh hubungan kekerabatan yang
nyata. Hal itu karena sering sekali ada panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang
menjadi kecil, akibat kematian, manggabungkan diri dengan panga atau ilibhou
yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu merupakan kesatuan dalam hal melakukan
upacara-upacara berkabung atau upacara pembakaran mayat nenek moyang, atau
upacara mendirikan batu tiang penghormatan roh nenek moyang. Sekarang kesatuan
kekerabatan itu hampir tidak berfungsi lagi, kecuali sebagai pemberi nama
kepada warga-warganya.
Panga dan ilibhou menjadi bagian dari
klen-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di
Ngada. Dulu wa’u an woe membanggakan diri akan adanya suatu complex unsur-unsur
adat istiadat dan sistem upacara yang khas, yang saling pantang bagi yang lain,
sedangkan banyak diantara wa’u-wa’u atau woe-woe yang terkenal ada yang
memiliki lambang binatang atau totem yang mereka junjung tinggi. Sekarang
sebagian besar dari unsur-unsur adat istiadat, upacara-upacara dan
lambang-lambang totem yang khusus itu sudah hilang atau dilupakan
Masyarakat Ngada terdiri dari empat
kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang
berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4)
Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekerabatannya dengan
mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekerabatan dalam
masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka
keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu,
dan Bagha).
Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota
kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama
atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah
adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Suku Ngadha mengenal beberapa kelompok kekerabatan dari yang terkecil
berupa keluarga inti sampai pada kelompok klen besar. Pembagian kelas pada
struktur masyarakatnya hampir sama sebagaimana masyarakat lain di tanah air.
Penggolongan suku Ngadha berdasarkan keluarga batih ( primary family ) yang
terdiri dari ayah,ibu, anak-anak yang belum menikah disebut dengan sa"o.
Beberapa keluarga inti membentuk keluarga gabungan yang disebut sippopali.
Sippopali (kesatuan keluarga) terdiri dari satu rumah pokok (sao puu) dan
didampingi oleh rumah cabang (sao dhoro) yang berasal dari rumah pokok.
Dikarenakan keterkaitan dengan sistem kekerabatan patrilineal, beberapa
sippopali membentuk klen kecil (illibhou) dari klen besar yang dipimpin oleh
seorang pemimpin dengan status ulu woe.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya
pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak)
kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah
induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional
terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Pada masyarakat manggarai, pembentukan keluarga batih
terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak
Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan
Manggarai antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari
adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara
perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema
Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama),
Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik),
Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
D.SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada
suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari
pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat
keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang
manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan
lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan
orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan
orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan,
tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang dianggap secara
historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah menduduki suatu daerah
tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian warga dari klen-klen
yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-glarang, pada orang
Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa
adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-orang senior. Orang ata
leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang, walau
banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga
hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak ada lagi,
adalah dulu
1. orang-orang
yang ditangkap dalam peperanagn, baik dari sub suku bangsa sendiri, maupun dari
suku bangsa lain atau pulau lain
2. kecuali itu
orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar lagi hutang mereka
3. dan akhirnya
orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.
Secara lahir
perbedaan antara gaya hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada,
tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para
bangsawan pun mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.
Pada masa
sekarang pendidikan sekolah telah menyebabakan timbulnya suatu lapisan sosial
baru, yang terdiri dari orang-orang pegawai, guru, atau pendeta, sedangkan
akhir-akhir ini ada pula beberapa putra flores dengan pendidikan universitas
yang tergolong lapisan sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip
stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi
sosial di daerah.
Sistem
kemasyarakatan masing-masing etnis di Flores pada dasarnya hampir sama, hanya
beberapa hal saja dan istilahnya saja yang berbeda.
No comments:
Post a Comment