Kebudayaan Daerah Istemewa Yogyakarta
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah
provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya
merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten Pakualaman
meliputi:
1. Kabupaten Kota Pakualaman dengan
bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
Pembahasan
Sejarah Jogjakarta ( Yogyakarta )
Daerah istimewa Jogjakarta (Yogyakarta) adalah sebuah provinsi yang
berdasarkan wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enclave
di Yogyakarta.
Pemerintah daerah istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun
1945 bahkan sebelum tahun tersebut. Bebarapa minggu setelah proklamasi 17
agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada,
Hamengkubuono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan amanat 5
september 1945. Isi dekrit tersebut adalah “integrasi monarki Yogyakarta
kedalam republic Indonesia. Dekrit dengan isi yang sama juga dikeluarkan oleh
Paku Alam VII I pada hari yang sama.
Gambar 2.1. Kawasan Malioboro tahoen 1978
Kondisi kebudayaan apa saja yang ada
di Yogyakarta
Daerah istimewa Jogjakarta memiliki berbagaimacam budaya, dari kesenian
contohnya tarian, seni rupa, seni music dan yang lainnya. DIYogyakarta sendiri
juga memiliki berbagai macam adat dan tradisi, upacara adat adalah salah satu
kebudayaan yang sampai saat ini masih sering dilakukan oleh masyarakan
DIYogyakarta. Dari bahasa daerahnya sendiri, DIYogyakarta
merupakan pusat bahasa dan sastra jawa.
merupakan pusat bahasa dan sastra jawa.
Budaya Adat DIYogyakarta
Setelah kita bahas
bagan di atas, Yogyakarta memiliki berbagai macam adat dari setiap daerahnya,
Contohnya adalah :
UPACARA SEKATEN
Menurut sejarahnya, perayan Sekatan bermula sejak zaman kerjn pslam Demak.Meski sebelumnya,ketika jaman pemerintahan Rajan Hayam Wuruk diMajapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut “SRDAAGUNG” itu suda ada.Perayaan ang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut,berupa persembahan sesaji kepada para dewa,disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Menurut sejarahnya, perayan Sekatan bermula sejak zaman kerjn pslam Demak.Meski sebelumnya,ketika jaman pemerintahan Rajan Hayam Wuruk diMajapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut “SRDAAGUNG” itu suda ada.Perayaan ang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut,berupa persembahan sesaji kepada para dewa,disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Pendapat lainya menyatakan bahwa,kata SEKATEN,berasal dari bahasa
Arab,yaitu SYSHADATAIN,yang berarti dua Syahadat atau kesaksian.Duasyahadat itu
ialah:
1.SYAHADAT AUHID
2.SYAHADAT RASUL
Gambar 2.3.1.1.Upacara Sekaten
UPACARA GAREBEG
Garebeg adalah upacara adat Kraton
Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun untuk memperingati
hari besar Islam. Mengenai Istilah Garebeg,ini berasal dari bahasa Jawa
“Grebeg”, yang berarti “Di iringi para pengikut”. Pengertian lain mengatakan
bahwa Gunungan itu di perebutkan warga masyarakat ang berarti di Grebeg atau
Garebeg.
Pelaksanaan upacara Tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam
seperti :
Garebeg SYAWAL
Garebeg Besar
Garebeg Maulud
Gambar 2.3.2.1. Upacara Garebeg
UPACARALABUHAN
Yang dimaksud Upacara Labuhan (Laut),yaittu upacara melempar sesaji dan
benda-benda Kraton kelaut untuk di persembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul.
Upacara tradisional Labuhan bermula sejak jaman Panembahan Senopati di mataram
Kotagede.Upacara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilanya
dalam memimpin Kerajaan Mataram Kota gede,yang masih tetap dilestarikan oleh
para raja-raja Kesultanan Yogyakarta.
Adapun Upacara Labuhan ini ada tiga jenis,yaitu :
Adapun Upacara Labuhan ini ada tiga jenis,yaitu :
Labuhan ageng
Labuhan Tengahan
Labuhan Alit.
Gambar 2.3.3.1. Upacara Labuhan
Kesenian, Kuliner, Dan Transportasi di DIYogyakarta
Telah kita ketahui di atas, akan banyaknya hal budaya upacara adat yang ada
di Yogyakarta, dan tidak di sangka lagi DIYogyakarta masih memanjakan setiap penghuni
aslinya maupun wisatawan dengan adanya kesenian DIYogyakarta yang dapat selalu
kita nikmati bersama dan akan menjadi milik kita bersama bangsa Indonesia.
Saya akan berikan beberapa gambar beserta keterangannya contoh-contoh
kesenian yang ada di daerah Jogjakarta.
Gambar 2.4.1. Malioboro Central Batik.
Pada gambar 2.4.1 tersebut terlihat banyak sekali batik, ini merupakan
pakaian khas Jogjakarta berserta motif khas jogjakartanya, dengan adanya ini
semua, kita sebagai warga Negara Indonesia harus serta melestarikan kebudayaan
berbatik agar tidak direbut oleh Negara tetangga. Dan yang lebih penting lagi,
agar tidak hilangnya kebudayaan berbatik di jaman globalisasi saat ini, dimana
banyak sekali pakaian yang sangat menarik.
Gambar 2.4.2. Pengamen Pantonim di Yogyakarta.
Ya begitulah Jogjakarta, kota istimewa, semua yang kalian inginkan ada
semuanya di sini, di daerah lain pengamen mungkin hanya sebatas bernanyi,
bermain music, menari, dll.
tapi tidak di Jogjakarta, di DIYogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta) memiliki banyak sekali seniman jalanan, seperti gambar 2.4.2 di atas, dia merupakan pengamen jalanan, mungkin karena bosen dengan mengamen yang begitu-begitu saja, dia mencoba untuk menjadi pengamen pantonim di Jogjakarta, sangan kreatif.
tapi tidak di Jogjakarta, di DIYogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta) memiliki banyak sekali seniman jalanan, seperti gambar 2.4.2 di atas, dia merupakan pengamen jalanan, mungkin karena bosen dengan mengamen yang begitu-begitu saja, dia mencoba untuk menjadi pengamen pantonim di Jogjakarta, sangan kreatif.
Gambar 2.4.3. Wisata Kuliner Gudeg Jogjakarta
Pada gambar 2.4.3 mungkin kita bertanya, apa yang di tunggu oleh
orang-orang itu,
Mereka menunggu pesanan Gudeg, makanan kuliner Khas Jogjakarta, Gudeg sendiri memiliki rasa yang agak manis, mungkin seperti kebanyakan orang jawa yang berparas manis.
makanan gudeg merupakan makanan yang paling di cari di jogjakarta.
Mereka menunggu pesanan Gudeg, makanan kuliner Khas Jogjakarta, Gudeg sendiri memiliki rasa yang agak manis, mungkin seperti kebanyakan orang jawa yang berparas manis.
makanan gudeg merupakan makanan yang paling di cari di jogjakarta.
Gambar 2.4.4. Andong Transportasi khas jogjakarta
Selain memiliki kerajinan, kebudayaan, dan kulinernya tersendiri,
jogjakarta juga memiliki alat transportasi seperti ojek di daerah-daerah
lainnya, namanya adalah andong di jogja,
Andong merupakan alat transportasi yang paling Khas di jogjakarta karena setiap orang yang mengunakan jasa andong akan di manjakan dengan sensasi saat menaiki andong tersebut. Berjalan-jalan sambil melihat-lihat sekitar dengan santai.
Andong merupakan alat transportasi yang paling Khas di jogjakarta karena setiap orang yang mengunakan jasa andong akan di manjakan dengan sensasi saat menaiki andong tersebut. Berjalan-jalan sambil melihat-lihat sekitar dengan santai.
KEISTIMEWAAN
YOGYAKARTA
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.
Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.
Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang saya buat di atas adalah, semoga setiap warga
negara indonesia mengetahui apa saja kebudayaan indonesia, karena menurut saya
sangat sulit untuk melindungi kebudayaan kita jika hanya kita sendiri, maka
dari itu , saya harap kalian semua para pembaca dapat membantu saya untuk
selalu melindungi harta karun terbaik yang pernah kita punya di negara
indonesia tercinta kita ini. Jangan sampai harta karun kita di ambil oleh orang
lain yang tidak bertanggungjawab, betapa indahnya saat cucu-cucu kita kelak
tetap dapat menikmati kebudayaan yang ada di indonesia yang masih asri dan asli
terjaga hingga masa depan kelak.
Saran:
Saran saya ialah agar kita memperhatikan kebudayaan yang berada di
indonesia yang khususnya Daerah Istemewa Yogyakarta karena di daerah itu
memiliki kebudayaan yang sangan banyak dan patut untuk dijaga &
diperhatikan.Karena mempertahankan lebih sullit dari memperebutkannya
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment